BAHASA, VARIETAS BAHASA, DAN VARIABEL-VARIABEL PENENTU PENGGUNAANNYA
. Oleh I Nyoman Adi jaya Putra Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni UNDIKSHA Singaraja Jalan Jendral A. Yani 67 Singaraja 81116, Telp. 0362-21541 e-mail: ajp_undiksha@yahoo.com
Language, Language Varieties, and Variables Determining Their Use ABSTRACT Almost every language has its own varieties. In any verbal interaction, the use of certain varieties is determined by such social variables as social status, age, sex, and education. Besides these social variables, there are also affecting factors such as psychological factor of the participant, geographical factor, and socio-cultural factor of a speech community. While communicating, a speaker uses a certain variety of a language in order to show his relative position or his relationship with his interlocutor. No single strategy is associated with the use of a certain variety of a language—whichever variety is used merely exhibits a speaker’s verbal repertoire which accordingly could be activated in different speech events, with different objectives, as well as with different illocutionary force.
PENDAHULUAN Dalam tulisan ini dibahas hubungan antara bahasa dan sejumlah variabel sosial. Jika membicarakan bahasa dan variabel sosial, terdapat dua sisi koin yang mau tidak mau harus dicermati, yakni identitas serta posisi sosial pembicara, usia, gender, pendidikan, pekerjaan, etnik, dan lainnya, di satu sisi, serta tingkah laku komunikatif khususnya tingkah laku linguistik (linguistic behaviour), di sisi lainnya. Seorang pembicara tahu bahasa atau ragam bahasa apa yang akan digunakannya untuk menunjukkan latar belakang serta posisi sosialnya, atau hubungannya dengan pendengar atau anggota masyarakat lainnya. Meminjam istilahnya Hymes “Who speaks what variety of language to whom and why?” (Siapa menggunakan atau berbicara varietas bahasa apa kepada siapa dan mengapa?). PEMBAHASAN Secara garis besar terdapat dua disiplin ilmu yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan variabel sosial seperti yang telah disebutkan di atas, yakni sosiolinguistik dan linguistik kebudayaan (J. Blommaert, 1991). Sebagaimana telah diketahui bahwa sosiolinguistik usianya relatif masih muda.
Sosiolinguistik mengkaji hubungan antara masyarakat dan bahasa. Ia mengaitkan dua bidang yang sesungguhnya dapat dikaji secara terpisah; masyarakat dikaji oleh sosiologi, sedangkan bahasa dikaji oleh ilmu bahasa atau yang lazim dikenal dengan linguistik. Karena hakekatnya seperti itu, dalam setiap kajian sosiolinguistik, semua fenomena kebahasaan yang diteliti hampir selalu ditelaah dan dikaji melalui konsep, teori, hasil kajian, dan metodologi dalam sosiologi baik itu yang bersifat eksplisit maupun implisit. Sedangkan linguistik kebudayaan memulai pengkajiannya dengan cara yang agak berbeda, yakni mulai dengan memfokuskan pada hubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran (Pinto, 1990). Akan tetapi belakangan ini, kedua disiplin ilmu ini hampir agak sulit dibedakan; perbedaannya terletak pada dari mana suatu penelitian dimulai, apakah dari bahasanya ataukah dari sosio-budayanya. Sebuah bab yang diberikan sub judul “Language and Social Position” dalam bukunya William Foley, Anthropological Linguistics, ditekankan bagaimana status dan kelas sosial, pekerjaan, pendidikan, usia, gender, kekerabatan, dan yang lainnya, dihubungkan dengan tingkah laku kebahasaan dalam berbagai cara. Menurut Foley, seperti yang dikutip Blommaert (1991) bahasa atau varietas bahasa yang digunakan seseorang dapat memberikan isyarat kepada pendengarnya tentang siapa atau tentang identitas si pembicara. Ditambahkannya bahwa bahasa juga berfungsi sebagai semacam penjaga gerbang ‘gate-keeper’ yang dapat memfasilitasi atau memudahkan akses kepada sumber-sumber atau pasar kerja yang langka, dan juga akses terhadap ‘power’ atau kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat.
Dalam pembahasan yang menyangkut perilaku kebahasaan, landasan teori atau ‘theoretical framework’ mesti diintegrasikan dengan teori-teori sosial. Kembali kepada pertanyaan yang menyangkut keterkaitan antara perilaku linguistik dengan variabel sosial yang ditanyakan di atas, salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah bahwa interaksi keduanya dapat menimbulkan suatu fenomena kebahasaan seperti adanya ragam atau varietas bahasa. Khusus menyangkut varietas bahasa, Dell Hymes (1996: 67) menegaskan seperti kutipan di bawah ini: “Every language name (‘French’, ‘German’, ‘English’) hides and obscures a multitude of varieties within these languages. We no longer live in a neatly Herderian world in which every person has only one language and belongs to one culture. In fact we never did. We never use ‘a language’, we always use a variety of a language: a genre, a speech style, a type of interaction” Dikatakan bahwa setiap bahasa, apapun namanya, selalu menyembunyikan (atau memiliki) sejumlah varietas di dalamnya (cf. Mey, 1985). Tidak ada satupun orang yang hanya memiliki satu bahasa dan satu kebudayaan. Apalagi dalam era kesejagatan seperti sekarang ini, seolah-olah tidak ada batas kewilayahan, dan segala informasi yang berasal dari belahan bumi yang satu dapat diketahui dari seluruh dunia bukan lagi dalam hitungan menit tetapi dalam hitungan sepersekian detik yang disampaikan dalam berbagai bahasa. Ini secara implisit memberikan pemahaman kepada kita bahwa hampir setiap orang merupakan seorang multibahasawan atau paling tidak sebagai dwibahasawan walaupun tidak secara aktif. Jika dalam satu bahasa saja sudah terdapat sejumlah ragam atau varietas bahasa, dapat dibayangkan berapa varietas bahasa yang harus diketahui atau dimiliki oleh seorang dwibahasawan atau multibahasawan. Dan sulit pula dibayangkan betapa kompleksnya strategi komunikasi yang harus dijalankan olehnya dalam berkomunikasi terutama jika ia mesti memperhatikan apa yang diakronimkan sebagai SPEAKING (setting, participant, end, act of sequence, key, instrumentality, norms, dan genre) oleh Hymes (lihat Jendra, 1991). Lebih jauh diilustrasikan seperti pada kutipan berikut: “And the fact is that every society makes distinctions between such varieties: some are ‘better’ than others, genre X is better suited for this purpose than genre Y, when you are with the mayor you better use so-and-so a variety, when you are with your girlfriend you better use another one” Salah satu ragam suatu bahasa yang dikenal secara umum adalah dialek. Dialek diberikan batasan sebagai suatu varietas bahasa yang dipakai oleh subkelompok masyarakat bahasa yang bisa diidentifikasi dengan jelas baik aspek tata bahasa, fonologi, ataupun kosakatanya. Secara tradisional, para ahli bahasa menggunakan istilah dialek untuk mengacu pada varietas bahasa yang ditentukan oleh faktor geografis, namun penggunaannya sekarang juga mencakup varietas bahasa yang ditentukan oleh faktor sosial kelompok pemakai bahasa yang bersangkutan (Bernard Comrie dan Solveig G. Fisher, dalam Microsoft® Encarta® Encyclopedia, 2007).
Untuk menentukan apakah dua varietas suatu bahasa merupakan dialek atau bukan, atau apakah mereka telah berubah menjadi suatu bahasa baru adalah suatu pekerjaan yang sangat sulit dikerjakan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah melihat ‘mutual intelligibility’-nya; apakah dua orang dari masing-masing varietas bisa saling memahami apa yang mereka ucapkan. Jika jawabannya ‘ya’ berarti bukan bahasa berbeda, melainkan varietas atau ragam suatu bahasa, seperti apa yang dikatakan oleh Comrie berikut: If two speech varieties are not mutually intelligible, then the speech varieties are different languages; if they are mutually intelligible but differ systematically from one another, then they are dialects of the same language (Comrie, 2002) Akan tetapi terdapat masalah dengan definisi atau batasan bahasa seperti kutipan di atas, mengingat ada beberapa level atau tingkatan dari mutual intelligibility dan oleh karenanya para linguis disarankan Comrie untuk menentukan pada level mana dari suatu varietas tidak lagi memiliki inteligilitas yang mutual. Diakui hal ini tidak mudah, di samping ada faktor lain lagi yang ikut ‘bermain’ dalam menentukan apakah suatu dialek merupakan bahasa yang berbeda, seperti misalnya faktor sosial politik suatu wilayah atau bahkan suatu negara. Di Cina, umpamanya, karena adanya kebijakan kebahasaan, diakui hanya ada satu bahasa yaitu bahasa Cina yang memiliki karakteristik tradisional yang di dalamnya terdapat sejumlah dialek yang satu sama lainnya tidak memiliki inteligibilitas mutual. Pada dasarnya sesuatu dialek berkembang karena adanya keterbatasan komunikasi di antara pengguna sesuatu bahasa. Dalam situasi semacam itu, perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu wilayah hanya berlaku di situ dan tidak berkembang ke komunitas tutur lain dari pengguna bahasa yang sama.
Jika keterbatasan kontak semacam ini terus berlanjut dalam waktu yang lama, perubahan-perubahan atau pergantian aspek-aspek dari bahasa tersebut semakin terakumulasi dan sebagai konsekuensinya adalah inteligibilitas mutual semakin sulit dicapai. Terlebih lagi jika situasi seperti ini dibebani oleh adanya unsur sosial politik yang mengharamkan komunitas tutur tertentu untuk berinteraksi verbal dengan yang lainnya. Ini akan mengarahkan terbentuknya bahasa baru yang berbeda, yang embriyonya adalah ragam-ragam bahasa tadi. Contoh yang diberikan Comrie adalah munculnya bahasa-bahasa Perancis, Spanyol, Portugis, Itali, yang dulunya merupakan dialek dari bahasa Latin yang sempat berjaya pada masa Kekaisaran Romawi. Menyangkut varietas atau ragam bahasa, Blommaert berargumentasi bahwa setiap bahasa mempunyai empat dimensi yang bervariasi, yang meliputi: Pertama, bahasa dapat memiliki variasi sesuai karakteristik dan idiosinkrasi dari setiap individu pembicara. Variasi semacam ini lazim dikenal dengan idiolek. Jadi jumlah idiolek yang ada di suatu masyarakat tutur sama dengan jumlah orang yang ada di sana. Kedua, variasi-variasi suatu bahasa dapat terjadi menurut lokasi geografis dari si pembicara. Contoh yang bisa diambil sebagai ilustrasi adalah adanya perbedaan bicara antara orang-orang yang tinggal di New York dengan mereka yang tinggal di Texas. Variasi sejenis ini dinamakan dialek regional atau dialek geografis yang merupakan dasar stereotipe seperti New Yorkers, Texan, orang daerah selatan, orang daerah utara, dan sebagainya. Ketiga, variasi bahasa juga dapat ditentukan oleh identitas sosial masyarakat. Tipe variasi semacam ini dinamai dialek sosial atau sosiolek.
Dialek sosial merupakan cikal bakalnya stereotipe kelompok yang memiliki karakteristik khas tertentu seperti etnisitas atau kelas sosial. Identitas-identitas sosial, menururt Foley, dapat mencakup kelas, status, pekerjaan, gender, agama, usia, dan sebagainya seperti yang telah diungkapkan di depan. Jika kita berbicara, terdapat kecenderungan bagi kita untuk mengistimewakan satu atau lebih identitas tertentu dibandingkan dengan yang lainnya tergantung tujuan dan konteks pembicaraan, dengan siapa berbicara, dan apa yang ingin dicapai melalui pembicaraan tersebut. Salah satu contoh dialek sosial adalah AAVE (African American Variety of English), yang dalam kalangan orang-orang Amerika keturunan Africa lebih dikenal sebagai Black English atau Ebonics. Banyak dari mereka berpendapat bahwa Ebonics bukanlah suatu dialek, tetapi ia merupakan suatu bahasa yang berbeda dengan bahasa Inggris standar Amerika. Sehubungan dengan ini, The Oakland School Board di California pernah menyebarkan berita yang bersifat nasional pada tahun 1997 di mana mereka mendeklarasikan Ebonics sebagai suatu bahasa tersendiri. Namun tidak mendapatkan tanggapan yang serius dari pemerintah. Keempat, terdapat sejumlah variasi bahasa yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori yang telah disebutkan di atas. Satu di antaranya adalah apa yang disebut dengan slang. Slang adalah kosakata yang penggunaannya bersifat informal yang masa pakainya pendek atau terbatas dan sering dihubungkan dengan pengguna bahasa yang masih akil balig atau beranjak remaja. Oleh karenanya, kosakata semacam slang tidak dianggap standar atau penggunaannya bersifat faddish atau sesaat. Salah satu contoh slang dalam bahasa Inggris Amerika adalah cool, yang arti harafiahnya adalah ‘dingin’, namun bisa berarti macam-macam tergantung konteks penggunaannya dan jarang dipakai oleh kalangan tua usia.
Selain slang, masih terdapat dua buah lagi varietas bahasa yang bersifat khusus, yakni jargon dan argot. Yang pertama, jargon, adalah kosakata yang bersifat teknis dan atau cara-cara berbicara ‘ways of speaking’ yang diasosiasikan dengan profesi atau disiplin ilmu tertentu. Contoh jargon adalah sejumlah kosakata yang ditandai dengan imbuhan tertentu seperti –ese dalam legalese, computerese, dsb. Berbeda dengan jargon, argot adalah kosakata nonstandar yang digunakan oleh kelompok-kelompok rahasia atau organisasi-organisasi kriminal, gang, dan anggota kelompok bawah tanah lainnya. Tujuannya adalah untuk membingungkan orang lain yang bukan merupakan anggota mereka. Memperhatikan kembali pertanyaan yang telah dilontarkan di atas yang menanyakan tentang apa hubungan antara tingkah laku linguistik (linguistic behaviour) dengan variabel-variabel sosial seperti kelas sosial, status sosial, pendidikan, pekerjaan, etnik, gender, usia, dsb. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut diringkas tiga buah hasil penelitian, khususnya yang menyangkut hubungan (variasi) bahasa dengan kelas sosial, gender, dan keetnikan. Studi tentang stratifikasi sosial dari ‘r’ yang dikerjakan oleh William Labov adalah salah satu contoh studi yang meneliti tentang korelasi antara kelas sosial dengan penggunaan bahasa. Secara khusus Labov meneliti variabel pelafalan katakata yang mengandung suara ‘r’ yang langsung ada di belakang suara vocal (postvocalic). Labov memfokuskan penelitiannya pada ucapan dari para pramuniaga (salespersons) pada tiga jenis pusat perbelanjaan yang memiliki status sosial yang berbeda; satu termasuk ranking yang tinggi, satu sedang, dan yang terakhir rendah.
Dalam metodelogi penelitiannya, Labov menentukan faktor-faktor apa yang melandasi pemilihan pusat pertokoan. Faktor-faktor tersebut mencakup lokasi, media cetak (koran atau majalah) di mana pertokoan tersebut mengiklankan barang jualannya, termasuk kebijakan harga. Penelitiannya menemukan bahwa faktor utama yang mendasari terjadinya variasi pelafalan ‘r’ adalah kelompok atau kelas sosial. Para pramuniaga pada pusat perbelanjaan yang status sosialnya tinggi melafal kan ‘r’ dengan ucapan yang jelas (semacam ada trill atau suara getar), dan semakin rendah status sosial pertokoan semakin lemahlah pelafalan ‘r’ tersebut, dan bahkan tidak terdengar. Selain hubungan bahasa dengan kelas sosial, dapat pula dicermati hubungan antara variabel sosial lain seperti gender dengan penggunaan bahasa atau variasi bahasa Penelitian-penelitian sejenis telah banyak dilakukan orang, yang salah satu diantaranya dikerjakan oleh William Foley. Ia meneliti hubungan antara gender pembicara dengan bahasa yang mereka gunakan pada sejumlah masyarakat yang berbeda dengan pendekatan kultural (“A cultural approach to malefemale miscommunication”). Salah satu argumen dasar yang dikemukakannya adalah bahwa pria dan wanita berbeda karena mereka masing-masing tumbuh dan berkembang pada sub-sub budaya yang berbeda, meskipun mereka merupakan anggota satu keluarga. Alasan dari argumen ini adalah bahwa sejak kecil laki-laki dan perempuan telah terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas yang memang berbeda dan mereka bersosialisasi dalam praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula. Ini ditekankan oleh Deborah Tannen dalam bukunya yang berjudul “You Just Don’t Understand: Men and Women in Conversation”.
Terdapat perkembangan yang cukup berarti dari pendekatan yang diajukan oleh Foley sampai kepada apa yang dewasa ini dikenal dengan istilah model alternatif, yaitu model dominansi “dominance model”. Argumen dasar dari model pendekatan ini adalah bahwa adanya pemisahan tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan yang mengharuskan kaum hawa tinggal di rumah (sejak dikenal adanya sejarah manusia). Sebagai konsekwensinya adalah terdapatnya akses yang sangat terbatas bagi mereka untuk melakukan praktek komunikasi yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas kaum adam. Terlebih lagi, perempuan tidak diijinkan untuk mengenyam pendidikan formal di luar rumah, serta berprofesi sebagaimana layaknya yang didapatkan laki-laki, sehingga sampai sekarang ini kaum perempuan relatif masih ketinggalan. Ini berimplikasi pula terhadap repertori kebahasaan yang mereka miliki. Selain kelas sosial dan gender, contoh ketiga yang diambil untuk menunjukkan adanya hubungan antara bahasa dengan salah satu variabel sosial lainnya yaitu etnisitas. Pengambilan data dilakukan melalui interviu bagi orang-orang yang melamar pekerjaan. Dapat dikatakan bahwa situasinya formal (dengan memperhatikan latar belakang berupa kelas sosial para responden). Perbedaan antara hasil wawancara yang menyangkut pekerjaan dengan percakapan biasa dicermati dan didiskusikan untuk mendapatkan konteks yang tepat dalam situasi apa seseorang dituntut untuk berlaku (kebahasaan) yang khusus, formal atau sopan. Perhatian khusus lainnya juga difokuskan pada perbedaan kekuasaan (power) dari pewawancara dan calon pelamar pekerjaan yang diwawancarai. Prosedur wawancara yang ditempuh relatif standar dalam artian dialek serta ragam bahasa yang dipakai adalah ragam yang standar yang lazim dipergunakan di dunia pendidikan, politik, hukum, dan media-media lainnya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa mereka yang tidak memiliki pengetahuan, pemahaman, serta kemampuan untuk mengadopsi strategi-strategi komunikatif yang biasa digunakan dalam ‘dunia formal’ cenderung mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Situasi semacam itu akan merugikan si pencari kerja yang diwawancarai karena mereka mendapatkan evaluasi negatif. Jadi jelas bahwa pengetahuan menyangkut variasi atau ragam bahasa dalam ranah-ranah tertentu sangat penting untuk dimiliki seseorang agar ia dapat terhindar dari situasi yang menyebabkan terjadinya miskomunikasi. Contoh lainnya dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Dipika Mukerjee yang berjudul “Role of Women in Language Maintenance and Language Shift: Focus On the Bengali Community in Malaysia” (Peranan Perempuan dalam Pemertahanan dan Pergeseran bahasa: Fokus pada Komunitas Bengali di Malaysia). Penelitian ini secara umum berupa penelitian etnografi berbicara yang digabungkan dengan pendekatan-pendekatan metodelogis seperti studi kasus, analisis percakapan dan narasi, serta teknik wawancara. Secara khusus, penelitian ini menganalisis pilihan kode di antara para wanita imigran multilingual Bengali yang berdomisili di Malaysia dan mencermati hubungan antara pilihan bahasa mereka dengan identitas etnik mereka. Empat belas perempuan dijadikan subjek penelitian. Peranan kelompok sebagai suatu mekanisme penegakan norma-norma dieksplorasi dengan teori identitasnya Le Page dan Tabouret-Keller (1985) dan studinya Milroy (1987). Data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa teori linguistik terdahulu menyangkut efek dari jaringan sosial (social networks) terhadap tingkah laku berbahasa, seperti modelnya Milroy, tidak bisa digunakan untuk menjelaskan struktur dan tingkah laku kebahasaan para kelompok imigran yang baru masuk ke Malaysia (para migran yang tinggal di lingkungan non-western). Bahasa atau kode-kode yang dipakai di komunitas ini diasosiasikan dengan perbedaan kekuatan sosial dan ekonomi; namun demikian seorang individu dapat memilih untuk mengasosiasikan (identitas) dirinya dengan lebih dari satu kelompok (etnik). Tujuannya adalah untuk membuat semacam identitas ganda atau bahkan multipel. Jadi, kelompok dalam komunitas ini dapat diciptakan secara kreatif oleh adanya pilihan-pilihan individual yang disebabkan adanya kawin antar etnik. Komunitas ini unik karena pilihan yang dilakukan mengenai perkawinan bertanggungjawab terhadap dua hal yang menyangkut kebahasaan yakni pemertahanan dan hilangnya suatu bahasa. PENUTUP Dari pembahasan di atas secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ragam atau varietas sesuatu bahasa ada dan digunakan karena adanya variabel-variabel sosial yang berbeda seperti status sosial pembicara, usia, gender, pendidikan, pekerjaan, dan juga etnik. Di samping variabelvariabel sosial di atas, terdapat pula faktor–faktor lainnya seperti, faktor psikologis pembicara, faktor geografis, dan faktor sosiokultural suatu komunitas tutur. Seorang pembicara menggunakan varietas atau ragam bahasa apa yang akan digunakannya untuk menunjukkan latar belakang serta posisi sosialnya, atau hubungannya dengan pendengar atau anggota masyarakat lainnya, seperti apa yang dikemukakan Dell Hymes “Who speaks what variety of language to whom and why?”. Ini juga sejalan dengan pernyataannya Rampton seperti yang dikutip berikut: “… depending on who is addressed, when and in what particular type of activity, the role and function of socially or ethnically marked communication styles differ. In some circumstances, the use of a variety is a strategy of contest, the subversion of existing dominant ethnic sterotypes. In others it can be an expression of group solidarity, feelings of respect and even an expression of the recognition of prestige” (Rampton, 1995: 265). Jadi tidak ada strategi tunggal yang diasosiasikan dengan penggunaan sesuatu varietas bahasa; apapun yang dipakai merupakan repertori verbal si pembicara yang sewaktu-waktu bisa diaktivasi dalam situasi yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda, serta dampak ilokusi yang berbeda pula (Gumperz, 1982).
Comments
Post a Comment